Suasana jalannya acara Dialog Publik
oleh LSM Terawulan yang bertajuk ‘Mewujudkan Masyarakat Partisipatif
terhadap Masalah Pelayanan Kesehatan di Jakarta’beberapa waktu yang lalu di
Jakarta Media Center. Jakarta –
Pelayanan kesehatan di Jakarta yang dijalankan oleh Dinas Kesehatan DKI
seharusnya lebih fokus kepada upaya preventif dan promotif ketimbang
penangangan seperti yang terjadi saat ini. Hal tersebut dipaparkan oleh Ketua
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jakarta Slamet Budiarto saat dirinya tampil
sebagai pembicara dalam acara Dialog Publik oleh LSM Terawulan yang bertajuk
‘Mewujudkan Masyarakat Partisipatif terhadap Masalah Pelayanan Kesehatan di
Jakarta’beberapa waktu yang lalu di Jakarta Media Center.
Menurutnya ada
beberapa alasan yang menyebabkan mengapa program preventif dan promotif lebih
penting. Pertama, anggota IDI Jakarta jumlahnya mencapai 22.000 orang. Jumlah
ini mendekati keinginan WHO yang mewajibkan setiap kota memiliki 25.000 dokter.
Kedua, jumlah Rumah Sakit di Jakarta mencapai 187 dengan jumlah tempat tidur
mencapai 25.000. Dengan ratio 1 tempat tidur bisa digunakan untuk 1000 orang
penduduk, maka jumlah tempat tidur yang ada sekarang bisa digunakan untuk
melayani 25 juta penduduk. Jumlah ini tentu lebih dari cukup, pasalnya jumlah
penduduk Jakarta kurang lebih sekitar 15 juta orang. Lebih dari itu, kemampuan
pendanaan DKI juga sangat besar. Bahkan ada Puskesmas di DKI yang berpendapatan
Rp1 miliar.
“Pertanyaannya
dengan daya tampung yang sangat memadai itu, mengapa hingga kini kita masih
sering mendengar keluhan masyarakat menyangkut ketersediaan kamar di rumah
sakit,” ujar Slamet kepada Jakarta Review.
Uniknya lanjut
Slamet, meskipun jumlah fasiltas pelayanan kesehatan berikut sarana dan
prasarananya masih sangat memadai, Dinas Kesehatan DKI, tetap saja disibukkan
dengan pembangunan rumah sakit yang diantaranya merubah puskesmas menjadi RSUD
Kecamatan.
“Lagi-lagi
merujuk data yang ada penambahan fasilitas kesehatan tersebut sesungguhnya
tidak terlalu urgent karena fasilitas kesehatan di Jakarta masih sangat memadai
untuk melayani warganya. Apalagi dengan adanya efisiensi dana jaminan kesehatan
sebesar Rp500 miliar, jadi seharusnya Dinkes DKI bisa lebih giat lagi
menjalankan upaya prenventif dan promotif untuk menaikkan indeks kesehatan
warganya,” tuturnya.
Dengan
menggiatkan upaya preventif dan promotif, lanjutnya, maka Dinkes DKI bisa lebih
meningkatkan kesadaran warganya tentang cara hidup sehat dan bagaimana
mengatasi masalah kesehatan di lingkungannya.
“Jangan
seperti sekarang, Dinkes DKI seperti menunggu bola. Artinya baru bergerak jika
ada kejadian. Padahal parameter sederhana berjalannya upaya preventif dan
promotif adalah makin berkurangnya penggunaan fasilitas kesehatan tingkat
pertama dan lanjut oleh masyarakat,” paparnya.
Senada dengan
Slamet, Pengamat Kesehatan Agung Nugroho mengatakan pelayanan kesehatan di
Jakarta memang belum maksimal. Masih banyak keluhan bahkan persoalan serius
yang belum tertangani. Ini masih ditambah dengan prioritas pelayanan tidak
tepat. Misalnya fokus Dinkes DKI seolah lebih cenderung tertuju pada
pembangunan fisik gedung kesehatan ketimbang penyuluhan dan pencegahan. Tak
heran kalau ditengah masyarakat kita sering menjumpai fasilitas mobil ambulance
milik Masjid seringkali lebih cepat datang melayani warga ketimbang ambulance
milik pemerintah.
“Ini sebuah
fenomena yang paradoksal. Seharusnya fokus Dinkes DKI lebih diarahkan kepada
upaya promotif dan preventif. Ini karena upaya kuratif sudah ditangani oleh
BPJS Kesehatan, Jadi Dinkes tinggal melakukan kontrol terhadap pelayanan
kesehatan saja,” cetusnya.
Agung juga
menyoroti program ketuk pintu layani dengan hati (KPLDH). Menurutnya program
tersebut lebih bertendensi pencitraan semata. Lihat saja program ini terbukti
gembar-gembor saat peresmian saja, namun pada kenyataannya tidak berjalan
efekitif, karena tetap menunggu bola.
Selain itu
Agung juga menilai Dinkes DKI yang lalai dalam menjalankan fungsi pengawasan
dan pembinaan terhada Rumah Sakit. Ini yang terjadi pada kasus Debora.
Ia mencatat di
era kepemimpinan Kadis kesehatan yang sekarang, banyak terjadi perlakuaan buruk
RS terhadap pasiennya.
“Dari Januari
hingga November, tercatat ada ada 78 keluhan warga yang lamban direspon oleh
Dinkes, akibatnya ada 12 pasien harus wafat di RS akibat lamban mendapatkan
ruang perawatan khusus. Kemudian ada 17 pasien dimintai bayaran, 21 pasien
dikenakan beli obat sendiri, 28 pasien kesulitan mencari kamar kosong, bahkan
sampai ada yang selama 4 hari menginap di UGD karena keluarganya harus mencari
kamar kosong di RS rujukan,” ungkapnya.
Selain lamban
merespon keluhan warga, Dinkes DKI juga tidak tegas kepada RS yang melakukan
pelayanan dngan buruk kepada warga.
“Lihat saja
tidak pernah ada tindakan teguran mapun sanksi bagi RS yang melakukan pelayanan
buruk terhadap warga DKI. Kemudian tidak pernah juga ada upaya dari Dinkes
untuk meminta RS mengembalikan uang yang terlanjur dipungut dari msyarakat,”
paparnya.
Berbeda dengan
kedua pembicara sebelumnya, Kepala Seksi Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan
DKI Jakarta Muhammad Khotib mengatakan pelayanan kesehatan di Jakarta
sebenarnya telah memacu dirinya lebih cepat, tapi problema Jakarta seolah
melesat lebih cepat lagi.
Namun demikian
menurutnya berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat
kepuasaan warga Jakarta terhadap pelayanan publik yang didalamnya ada pelayanan
kesehatan sudah mencapai 76 persen. Itu artinya pelayanan kesehatan warga
Jakarta mengalami peningkatan.
“Layanan
kesehatan kota Jakarta berkelindan dengan sistem kota itu sendiri misalnya
untuk kesehatan lingkungan, yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan adalah
memberikan penyuluhan dan tindakan pencegahan,” jelasnya.
Ia menambahkan
dari sisi layanan jaminan berobat, Jakarta juga telah membayar premi 3,4 juta
orang pemilik Kartu Jakarta Sehat yang saat ini melebur menjadi Jaminan
Kesehatan Nasional. Pembayaran premi itu lanjutnya, jauh lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah orang miskin di Jakarta yang angkanya berjumlah
38400 orang (3,75 persen).
Comments
Post a Comment